He, soal rasa biasanya identik dengan makanan yang diberi bumbu ya. Ini bukan sekedar membubuhi tulisan dengan bumbu saja. Tapi lebih dari itu, kita harus tahu takaran bumbu yang harus kita masukkan dalam tulisan. Ya, sama seperti koki yang sedang memasak: penulis kudu menyajikan tulisan yang lezat, tidak hanya menjual aromanya saja.
Ada lagi, bumbu yang kita tambahkan itu agar bisa menggoncang emosi pembaca. Buat pembaca melibatkan emosinya saat membaca tulisan kita. Itu, biar tulisan kita juga tidak terlalu datar dan garing. Yups, kini saatnya olah bumbu tulisan dan olah rasa.Pertama, rasa senang. Kamu tambahkan bumbu humor atau cerita jenaka. Berikan energi kebahagiaan dengan cerita kocak. Kalau bisa, pas kita nulis, kita juga ikut tertawa. Ya, minimal kita menulis dengan tersenyum. Buat tulisan yang bisa membuat pembaca tambah bersemangat. Buat pembaca ingin terus membaca tulisan kita. Seperti mereka mendapat hadiah yang mereka sukai. Tulisan kita adalah hadiah terindah buat pembaca.
Kedua, rasa takut. Ini bukan tulisan bernada ancaman. Juga tidak sekedar cerita horor. Bukan juga tulisan yang menghakimi atau memojokkan pembaca. Tapi, gunakanlah bumbu ‘evaluasi diri’ supaya pembaca tidak terpuruk seperti yang ada dikisah yang kita tuliskan. Kita bisa sisipkan kisah ‘tragis’ dalam tulisan. Sehingga, tulisan kita mampu ‘menyadarkan’ pembaca tentang arti penting ‘membenahi diri’.
Ketiga, rasa sedih. Berhasil bila tulisan kita bisa membuat pembaca berlinangan air mata. Sisipkan bumbu berupa kisah yang mengharukan. Hingga pembaca ikut bersimpati dan berempati. Banyak kejadian mengharukan dalam kehidupan sehari-hari yang bisa kita tulis. Buat pembaca terharu, jadi sedih dan jadi menangis. Ya, meneteskan air mata tanpa mereka sadari.
Keempat, rasa marah. Tapi marah bukan karena pembaca dilecehkan dengan tulisan kita. Rasa marah muncul karena pembaca menangkap sinyal ketidakberesan pada dirinya sendiri. Ya, pembaca marah pada dirinya sendiri. Itu karena pembaca melihat dirinya ditulisan itu. Kan tulisan yang bagus bisa menjadi cermin bagi pembacanya.Tidak perlu membuat tulisan yang mengkritik pedas. Cukup pakai bumbu ‘sindiran manis’ saja. Lebih halus lagi, ‘menegur’ melalui perumpamaan atau kiasan. Saya pernah menulis di buletin jum’at tentang hutang piutang. Sindirannya tentang dosa orang yang tidak mau membayar hutang. Mungkin ada pembaca yang marah karena merasa tersindir. Tapi semestinya ia marah pada dirinya sendiri. Tulisan tetap berada di jalur yang semestinya: mengajak kebaikan untuk bersegera menunaikan kewajiban.
Nah, memang perlu latihan untuk menghasilkan tulisan yang memiliki rasa itu. Dengan cara, seringlah membaca buku-buku yang menawarkan keempat rasa itu. Hingga dengan sendirinya kita bisa ‘terpengaruh’ untuk membuat tulisan yang penuh rasa. Asyik kan, bila di satu buku kita bisa membuat empat rasa sekaligus: senang, takut, sedih dan marah. Wah, rame rasanya!