Sabtu, 03 September 2011

4 Rasa Tulisan


He, soal rasa biasanya identik dengan makanan yang diberi bumbu ya. Ini bukan sekedar membubuhi tulisan dengan bumbu saja. Tapi lebih dari itu, kita harus tahu takaran bumbu yang harus kita masukkan dalam tulisan. Ya, sama seperti koki yang sedang memasak: penulis kudu menyajikan tulisan yang lezat, tidak hanya menjual aromanya saja.
  
Ada lagi, bumbu yang kita tambahkan itu agar bisa menggoncang emosi pembaca. Buat pembaca melibatkan emosinya saat membaca tulisan kita. Itu, biar tulisan kita juga tidak terlalu datar dan garing. Yups, kini saatnya olah bumbu tulisan dan olah rasa.

Pertama, rasa senang. Kamu tambahkan bumbu humor atau cerita jenaka. Berikan energi kebahagiaan dengan cerita kocak. Kalau bisa, pas kita nulis, kita juga ikut tertawa. Ya, minimal kita menulis dengan tersenyum. Buat tulisan yang bisa membuat pembaca tambah bersemangat. Buat pembaca ingin terus membaca tulisan kita. Seperti mereka mendapat hadiah yang mereka sukai. Tulisan kita adalah hadiah terindah buat pembaca. 

Kedua, rasa takut. Ini bukan tulisan bernada ancaman. Juga tidak sekedar cerita horor. Bukan juga tulisan yang menghakimi atau memojokkan pembaca. Tapi, gunakanlah bumbu ‘evaluasi diri’ supaya pembaca tidak terpuruk seperti yang ada dikisah yang kita tuliskan. Kita bisa sisipkan kisah ‘tragis’ dalam tulisan. Sehingga, tulisan kita mampu ‘menyadarkan’ pembaca tentang arti penting ‘membenahi diri’.

Ketiga, rasa sedih. Berhasil bila tulisan kita bisa membuat pembaca berlinangan air mata. Sisipkan bumbu berupa kisah yang mengharukan. Hingga pembaca ikut bersimpati dan berempati. Banyak kejadian mengharukan dalam kehidupan sehari-hari yang bisa kita tulis. Buat pembaca terharu, jadi sedih dan jadi menangis. Ya, meneteskan air mata tanpa mereka sadari.  

Keempat, rasa marah. Tapi marah bukan karena pembaca dilecehkan dengan tulisan kita. Rasa marah muncul karena pembaca menangkap sinyal ketidakberesan pada dirinya sendiri. Ya, pembaca marah pada dirinya sendiri. Itu karena pembaca melihat dirinya ditulisan itu. Kan tulisan yang bagus bisa menjadi cermin bagi pembacanya.

Tidak perlu membuat tulisan yang mengkritik pedas. Cukup pakai bumbu ‘sindiran manis’ saja. Lebih halus lagi, ‘menegur’ melalui perumpamaan atau kiasan. Saya pernah menulis di buletin jum’at tentang hutang piutang. Sindirannya tentang dosa orang yang tidak mau membayar hutang. Mungkin ada pembaca yang marah karena merasa tersindir. Tapi semestinya ia marah pada dirinya sendiri. Tulisan tetap berada di jalur yang semestinya: mengajak kebaikan untuk bersegera menunaikan kewajiban.    

Nah, memang perlu latihan untuk menghasilkan tulisan yang memiliki rasa itu. Dengan cara, seringlah membaca buku-buku yang menawarkan keempat rasa itu. Hingga dengan sendirinya kita bisa ‘terpengaruh’ untuk membuat tulisan yang penuh rasa. Asyik kan, bila di satu buku kita bisa membuat empat rasa sekaligus: senang, takut, sedih dan marah. Wah, rame rasanya!

Jumat, 02 September 2011

2 Keunggulan Naskah

Ini saatnya buat naskah buku yang punya kualitas plus. Tidak sekedarnya saja. Ya setidaknya kita mau ‘naik kelas’. Nah, fokus kita bukan pada larisnya penjualan. Kita tidak perlu berpikir sampai best seller dulu. Soalnya naskah kan belum dibuat, he.

Obrolan ini pada jaminan mutu: kualitas naskah. Bagusnya naskah tidak hanya menurut kita, juga tidak karena pendapat orang lain. Tapi, kualitas naskah bisa kita lihat dengan cara membandingkannya dengan buku yang sudah terbit. Untuk itu, paling tidak ada dua keunggulan yang harus dimiliki sebuah naskah, yaitu : 

Pertama, unggul karena diferensiasi. Ya, unggul karena keunikan: tampil beda. Tentu berbeda dengan buku-buku yang sudah ada di toko buku. Naskah buku seperti ini bukanlah naskah pengekor. Juga bukan dilahirkan dari penulis yang sukanya me too. Naskah unik ini berani tampil beda. Karenanya, kita perlu perbanyak studi pustaka untuk membuatnya. Sehingga tahu posisi naskah yang akan kita buat dari buku lainnya.

Mungkin materinya bisa saja tidak baru, tapi ditulis dari sudut pandang yang berbeda. Maka, jadi naskah yang berbeda. Misalnya, dulu banyak buku marketing yang dibuat berdasarkan konsep perang. Mulai dari strategi perang Cina hingga Barat diaplikasikan pada strategi marketing. Pesaing dianggap musuh, sehingga layak untuk ‘diserang’. Karena itulah, terjadilah ‘perang harga’ sebagai salah satu bentuk peperangan dalam bisnis.

Lalu, tampillah buku baru dengan konsep yang beda: berbisnis dengan hati. Kompetitor tidak dipandang sebagai musuh, tapi dijadikan sumber inspirasi untuk menciptakan kreativitas unik. Hasilnya luar biasa. Para pengusaha lebih fokus pada kepuasan konsumen, ketimbang memikirkan bagaimana cara membunuh pesaing! Mulailah kesadaran baru tentang pentingnya aplikasi etika dalam bisnis. Begitulah, hanya dengan memandang ide dengan cara yang berbeda, bisa menghasilkan naskah yang unik. 

Kedua, fokus. Satu naskah buku memusatkan pembahasan secara mendalam. Bahkan dikhususkan untuk segmen pembaca tertentu saja. Iya, coba pilihlah sebuah ide, lalu pandang dari sudut yang berbeda. Setelah itu, kaji secara mendalam, bukan melebar. Sajikan secara mendetail. Ungkap semua hal yang terkait dengan pokok bahasan utama. Maka, keunggulan naskah itu muncul karena detailnya penjelasan yang disajikan. Sehingga, penulis berikutnya akan merasa ‘minder’ untuk mengkaji ide buku yang sama.

Bahkan, buku yang fokus dan mendalam itu akhirnya menjadi rujukan bagi buku selanjutnya. Misalnya, buku mendalam tentang Zakat karya Yusuf Qardhawi. Bukunya sangat tebal karena lengkap dan detail. Karya setelahnya, setahu saya belum ada buku yang membahas zakat yang lebih fokus dari buku beliau itu. Buku itu laris, tidak hanya di negara beliau saja, tapi sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. 

Dengan metode fokus itu, saya juga mencobanya. Jadilah buku Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar pada tahun 2010. Ini agak berat memang. Tapi, itulah jalan menuju puncak keunggulan sebuah naskah. Ya, biar naik kelas. Memang bukan sembarang terbit. Naskah bermutu jelas akan diburu! Selamat berkarya, ya!

Rabu, 24 Agustus 2011

3 Risetnya Penulis

Ini asyiknya jadi penulis: bisa terus belajar. Salah satu ciri khas belajarnya penulis ya melakukan riset. Bahkan, penulis fiksi juga wajib meriset lho! Tanpa riset, penulis seperti singa tak bertaring. Semakin sering riset, taring penulis semakin tajam. Hingga tulisannya mampu menancap di benak pembaca. Tulisannya bisa ‘merobek’ kebodohan pembacanya. Inilah ketiga riset itu :   

Pertama, riset pustaka. Kita melakukan studi pustaka. Membaca berbagai bacaan yang sesuai dengan tema yang ingin kita tulis. Isi bacaan kita pahami. Materinya ditelaah. Lalu mencatat beberapa poin penting. Mulai mencari benang merah atas semua poin yang kita catat. Juga mencoba membandingkannya. Hingga kita menemukan ilmu baru. Dalam bahasa Pak Hernowo Hasim, “Kita menemukan pelbagai makna dari hasil membaca dan menulis itu.” Kemudian, kita kembangkan makna itu menjadi sebuah tulisan yang baru. Super sekali!   

Kedua, riset lapangan. Kita langsung terjun ke lokasi demi mendapatkan data terbaru. Yang akan kita lihat adalah data apa adanya. Supaya mata kita tidak tertipu. Dan, supaya pikiran kita tidak menduga-duga atau berprasangka saja. Maka, kita bisa bertanya langsung pada orang-orang yang terlibat di lokasi itu. Mereka yang menguasai dan mengerti benar atas semua yang mereka lakukan. Jadi, selain melakukan pengamatan, ya kita wawancara mereka. Data kita dapat, kita tuliskan semuanya. Asyik ya! 

Ketiga, riset partisipatoris. Kita terjun ke lokasi penelitian, tidak sekedar mengamati atau melakukan wawancara saja, tapi terlibat langsung. Iya, partisipasi. Kita benar-benar menjadi pelakunya langsung. Jadi, kita tidak sekedar mengetahui dan memahami saja. Lebih dari itu, kita bisa merasakannya. Ya, data itu sebuah pengalaman nyata yang kita dapat selama menjalaninya. Dengan begitu, kita bisa menuliskannya dengan lebih detail, berdasar pada fakta yang ada dan tentunya bisa menulis dengan penuh perasaan. Wow!

Eem, ketiga riset itu adalah keterampilan yang mesti kita asah. Lakukan sesering mungkin. Jadikan riset menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses menulis. Bahkan, saya lebih membutuhkan waktu yang lama untuk meriset ketimbang menulisnya. Iya, itu karena riset seperti menjemput ruh tulisan kita. Tanpa riset, tulisan kita seperti mayat yang terbaring kaku! Ups!

3 Ilmunya Penulis

Ini penting. Untuk menjadi penulis yang andal, paling tidak ada tiga ilmu yang harus dikuasai. Ya tentu belajarnya dengan metode learning by doing aja. Yakni, belajar sembari melakukannya, action! Ketiga ilmu ini saling berkaitan dan sudah semestinya tidak dipisahkan. Bila ada ilmu lainnya, bisa kita jadikan sebagai ilmu pendukung. Tiga ilmunya penulis itu :

Pertama, ilmu bahasa. Benar sekali, Ibnu Khaldun berkata bahwa bahasa itu pintunya ilmu. Kalau kita ingin menguasai suatu bidang tertentu, kuasai dulu bahasa yang digunakannya. Dan, ketika kita ingin menyampaikan sesuatu kepada orang lain, maka kita musti tahu bahasa yang mereka gunakan. Jadi wajar kalau ada bahasa daerah, bahasa nasional dan bahasa internasional. Penulis yang andal, mau belajar untuk mengenal semua bahasa itu. Supaya tidak ‘buta’, ya.

Kedua, ilmu komunikasi. Ya, komunikasi adalah proses dari penggunaan bahasa. Kuasailah ilmu ini. Pelajari, didalamnya kita akan mengenal berbagai cara komunikasi yang efektif dan tepat sasaran. Penulis yang baik, selalu pandai dalam menggunakan bahasa sesuai dengan sasaran pembaca. Tulisan untuk anak kecil jelas berbeda dengan tulisan untuk remaja dan dewasa. Ilmu komunikasi memberikan solusinya. Jadi, ilmu bahasa akan lebih ‘renyah’ bila diolah dengan ilmu ini. Serius.

Ketiga, ilmu psikologi. Saat bahasa diolah dengan ilmu komunikasi, maka ilmu psikologi mampu memberikan sentuhan yang ‘membekas’ di jiwa. Iya, tulisan untuk anak-anak lebih menarik disertai gambar yang berwarna-warni. Tulisan untuk remaja lebih banyak berisi motivasi, panduan dan hiburan. Begitu juga dengan orang dewasa. Tahu sendiri lah, orang dewasa itu sukanya apa, he. Karena itulah, ada penggabungan ilmu yang disebut psikolinguistik. Kata Trevor A. Harley, “Psikolinguistik itu studi tentang proses mental dalam pemakaian bahasa.” Ah, kapan-kapan saja kita bahas ya.     

Nah, ketiga ilmu itu adalah ilmu terapan. Jadi memang kita harus menerapkannya. Ketiganya juga terus berkembang. Karenanya, kemampuan menulis dan karya kita –semestinya- juga ikut berkembang lebih baik. Sepakat ya. Yuk, belajar lagi tentang ilmu bahasa, komunikasi dan psikologi. Semangat!

Senin, 22 Agustus 2011

3 Kemandegan Penulis

Wah, ini bahaya. Kalau sudah mandeg, semuanya bisa jadi penyakit. Coba lihat, kalau ada air mandeg –tidak mengalir- jadinya bau dan tidak suci lagi. Karena itu, air yang bisa digunakan untuk bersuci itu yang mengalir. Mandeg juga bisa menjadikan kita tertinggal. Yang lain terus berjalan, bahkan ada yang ngebut! Kalau dalam lomba lari, mandeg itu kebodohan ya. Meski hidup butuh istirahat, tapi setiap pagi mesti bangun dan bergerak lagi. Tidak mandeg. Tapi, penulis bisa saja kena virus mandeg ini.

Pertama, idenya yang mandeg dipikiran saja. Tidak mau dicatat, malas menulis. Bahkan, seringkali ide –yang bisa saja bagus kalau sudah ditulis- justru dibantai dalam pikiran. Semua ide yang ada dipikiran itu dihakimi begitu saja. Jadinya, ide tidak mengalir, malah mandeg. Bebaskan saja ide itu lewat goresan tinta. Seperti membuat peta pikiran, coretan atau catatan kecil supaya ide terus mengalir. Saya tanya ya, “Sekarang, apa masih ada ide kamu yang mandeg dipikiran?

Kedua, penulis mandeg saat melakukan riset. Padahal penting sekali riset sebelum menulis. Ya, supaya nantinya tulisan kita menjadi kaya data. Bahaya kalau penulis berhenti meriset. Ayo, meriset. Mandeg meriset berarti membiarkan tulisan kita terasa mentah. Kalau tidak ada data, ya kita tidak terlatih buat mengelola data itu donk. Sungguh, terlalu. So, “Sekarang kamu mencari data apa buat tulisanmu?

Ketiga, ini yang paling parah, mandeg menulis. Biasanya karena alasan mood. Atau lagi lemas karena habis kalah lomba menulis. Atau baru mengalami depresi akibat naskahnya ditolak penerbit. Atau juga, malas karena royalti tidak cair? He, pengalaman ya. Tapi ah, itu cuma alasan saja kan. Masih ingat status Facebook saya dulu, “Kegagalan seorang penulis bukan karena kalah lomba, juga bukan karena naskahnya ditolak penerbit. Tapi –penulis yang gagal itu- dia yang benar-benar berhenti menulis!” Teruslah menulis meski hanya dua halaman setiap harinya. Yang penting rutin ya. Lalu, “Sekarang apa yang mau kamu tulis?” 

Ini 3 Ritual Penulis


Mungkin sudah ada yang pernah baca soal ritual ini. Atau ada yang menyebutnya ‘bekal’ penulis. Tapi, saya lebih suka menyebut ritual supaya beda aja, he. Ya, ritual itu bisa berarti aktivitas yang musti dilakukan sebelum melaksanakan sebuah hajatan. Santai saja, ini bukan urusan sihir atau ilmu hitam. Juga bukan ilmu perdukunan. Nah, sedikitnya ada tiga ritual penulis sebelum memulai menulis. Kalau Pak Bambang Trim menyebutnya ‘tiga banyak’.

Pertama, ritual membaca. Iya, banyak membaca. Jadi penulis memang identik suka membaca. Meski pembaca tidak banyak yang nulis, he. Baca apa saja. Iqra’. Tak heran bila ide atau gagasan itu ditemukan saat kita membaca. Saat menunggu antrian di bank, bawa dan bacalah buku atau majalah. Dimanapun dan kapanpun, sukailah membaca –khususnya buku. Karena itu, saya sering bertanya, “Buku apa yang sedang kamu baca?

Kedua, ritual jalan-jalan. Tepat sekali, banyak jalan-jalan –jangan di rumah aja, ya. Lihatlah berbagai kejadian yang unik dan menarik. Perhatikan berbagai perilaku orang-orang di sekitar kita. Dengarkan apa yang sedang mereka bicarakan. Jalan-jalan tak sekedar dapat kesegaran pikiran, tapi juga input baru dari dunia luar. Dari ritual itulah, inspirasi akan menyala dan kebuntuan menulis akan terpecahkan. Jadi, wajar ya bila saya bertanya, “Ide segar apa nich yang sudah kamu dapat dari jalan-jalan seharian?

Ketiga, ritual silaturahmi. Betul, berkunjung ke rumah tetangga atau sahabat lama. Tapi bukan buat ngegosip lho! Ya diskusi kecil-kecilan. Atau mengenang masa lalu. Buka obrolan yang santai saja. Tidak perlu membuat target diskusi khusus, tapi jika memungkinkan ya lebih baik. Nah, penulis yang baik itu pendengar yang baik. Jadi, perbanyaklah bertanya dan sesekali menganggukkan kepala. Lalu bertanya lagi, he. Eem, kini saya mau bertanya, “Apa saja obrolan kamu hari ini?

Cukup tiga ritual itu dulu ya. Yang penting diamalkan. Dengan berjalannya waktu dan bertambahnya usia, kita bisa panen ilmu yang berlimpah berkah. Membuat hidup ini terasa bermakna, tidak sia-sia. Nah, sering-seringlah melakukannya: membaca, jalan-jalan dan perbanyak silaturahmi. Lalu, perhatikan apa yang terjadi. He, bagaimana? 


Minggu, 21 Agustus 2011

1 Cara Kembangkan Tulisan

Aneh sebenarnya kalau harus pusing mencari ide. Kita terlalu berharap sesuatu yang wah. Sesuatu yang akan dianggap sebagai ide yang hebat, unik dan beda. Sepertinya kita sudah terlalu lelah mencari semua itu. Akibatnya, sering kali kita menyepelekan dan memandang rendah atas semua yang terjadi pada diri kita sendiri –yang sejatinya menjadi sumber ide untuk segera ditulis.

Jadi, saya sangat setuju dengan apa yang pernah ditulis oleh Pak Bambang Trim, “Ide adalah sebuah penemuan, bukan pencarian.” Lihatlah diri kita, apa yang kita temukan. Tataplah diri kita dalam sebuah cermin. Temukanlah ide itu pada diri kita. Bila tidak cukup memandangi cermin, kita bisa meluangkan waktu untuk melihat kedalam diri. Lebih dalam, dan lebih dalam lagi. Tanyakan pada diri sendiri, “Apa yang bisa aku tulis dari diriku sendiri?

Bila memang kita sedang gelisah, tulislah aku sedang gelisah. Lalu, carilah jawaban mengapa itu semua terjadi pada diriku? Sudah tentu akan muncul berbagai jawaban dipikiran kita. Saat itulah, semua jawaban itu juga kita tulis. Hingga akan banyak kata yang tercurah dari pikiran kita. Begitu banyaknya seperti air yang mengalir tidak bisa dibendung lagi.

Setelah selesai menulis, bacalah tulisan kita itu. Lihatlah dengan teliti, apa lagi ide yang bisa dikembangkan. Mungkin, kita menulis rasa gelisah itu muncul karena kita sudah melakukan sesuatu yang salah. Ada kata salah di situ. Tanya lagi kenapa kita merasa bersalah? Kemudian kita tulis lagi jawabannya, aku merasa bersalah karena telah banyak berbohong. Teruslah cari satu kata lagi yang bisa kita tanyakan, lagi.

Dengan begitu, kita sudah melakukan proses menulis dengan lebih mendalam. Dalamilah diri kita, itu cara unik mendalami tulisan. Hanya berbekal satu rasa, satu pertanyaan dan satu kata, kita bisa menulis lebih dalam lagi. Hasilnya, tulisan akan lebih detail. Dan dengan sendirinya, tulisan kita tiba-tiba saja bisa menjadi lebih banyak. Menjadi bertambah halaman. Sekarang, bagaimana cara kamu kembangkan sebuah tulisan? 

4 Cara Menemukan Ide

Saya pernah lihat iklan di tv, Iwan Fals lagi menangkap banyak kata yang bergantungan di jalan. Seperti sedang menangkap ide untuk beliau jadikan sebuah lagu. Bagi saya itu menarik sekali. Dengan bekal panca indera, kita bisa dengan mudah menangkap sinyal-sinyal ide itu. Cuma jarang kita akui itu sebagai ide segar. Akhirnya, kita biarkan saja berlalu, tanpa ditulis.

Sayang rasanya bila semua yang ada di sekitar kita hilang begitu saja. Bila kita jeli melihatnya, sebuah ide sebenarnya mudah kita temukan. Iya, tanpa kita capek-capek mencarinya. Kuncinya, jangan pernah menyepelekan apa yang ada di sekitar kita dan apa yang ada di dalam diri kita. Biasakan membawa buku saku, pulpen, lalu mencatat semua jawaban dari pertanyaan berikut ini :

1.    Apa yang kita lihat?

2.    Apa yang kita dengar?

3.    Apa yang kita rasakan?

4.    Apa yang kita pikirkan?

Bukalah mata, telinga, hati dan pikiran kita. Setidaknya itu dulu modal kita untuk menemukan ide dengan mudah. Allah sudah berikan semua itu kepada kita. Tinggal kita yang mengoptimalkan. Catatlah, tulislah. Jangan biarkan semua ide itu lewat begitu saja. Ingatlah, apa yang nampak sepele buat kita, bisa jadi bermanfaat bagi orang lain. Mungkin bagi kita, itu sesuatu yang basi, tapi bagi pembaca itu sesuatu yang baru. 

Hingga waktunya nanti -karena terbiasa mencatat- tanpa sengaja kita akan menemukan ide yang unik. Pada saat yang tepat nanti, ide itu akan tumbuh besar hingga menjadi sebuah buku. Rawatlah ide dengan baik. Bila tidak, penulis lain yang akan membuatnya menjadi sebuah buku best seller. Lalu, kita membiarkan diri kita mengatakan, “Ah, terlambat. Ide itu sudah ditulis orang lain.” Sekarang, bagaimana cara kamu menemukan ide?