Ini asyiknya jadi penulis: bisa terus belajar. Salah satu ciri khas belajarnya penulis ya melakukan riset. Bahkan, penulis fiksi juga wajib meriset lho! Tanpa riset, penulis seperti singa tak bertaring. Semakin sering riset, taring penulis semakin tajam. Hingga tulisannya mampu menancap di benak pembaca. Tulisannya bisa ‘merobek’ kebodohan pembacanya. Inilah ketiga riset itu :   
Pertama, riset pustaka. Kita melakukan studi pustaka. Membaca berbagai bacaan yang sesuai dengan tema yang ingin kita tulis. Isi bacaan kita pahami. Materinya ditelaah. Lalu mencatat beberapa poin penting. Mulai mencari benang merah atas semua poin yang kita catat. Juga mencoba membandingkannya. Hingga kita menemukan ilmu baru. Dalam bahasa Pak Hernowo Hasim, “Kita menemukan pelbagai makna dari hasil membaca dan menulis itu.” Kemudian, kita kembangkan makna itu menjadi sebuah tulisan yang baru. Super sekali!   
Kedua, riset lapangan. Kita langsung terjun ke lokasi demi mendapatkan data terbaru. Yang akan kita lihat adalah data apa adanya. Supaya mata kita tidak tertipu. Dan, supaya pikiran kita tidak menduga-duga atau berprasangka saja. Maka, kita bisa bertanya langsung pada orang-orang yang terlibat di lokasi itu. Mereka yang menguasai dan mengerti benar atas semua yang mereka lakukan. Jadi, selain melakukan pengamatan, ya kita wawancara mereka. Data kita dapat, kita tuliskan semuanya. Asyik ya! 
Ketiga, riset partisipatoris. Kita terjun ke lokasi penelitian, tidak sekedar mengamati atau melakukan wawancara saja, tapi terlibat langsung. Iya, partisipasi. Kita benar-benar menjadi pelakunya langsung. Jadi, kita tidak sekedar mengetahui dan memahami saja. Lebih dari itu, kita bisa merasakannya. Ya, data itu sebuah pengalaman nyata yang kita dapat selama menjalaninya. Dengan begitu, kita bisa menuliskannya dengan lebih detail, berdasar pada fakta yang ada dan tentunya bisa menulis dengan penuh perasaan. Wow!
Eem, ketiga riset itu adalah keterampilan yang mesti kita asah. Lakukan sesering mungkin. Jadikan riset menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses menulis. Bahkan, saya lebih membutuhkan waktu yang lama untuk meriset ketimbang menulisnya. Iya, itu karena riset seperti menjemput ruh tulisan kita. Tanpa riset, tulisan kita seperti mayat yang terbaring kaku! Ups!
 
setujuuu.... tanpa riset apa yang kita tuliskan jadi terasa datar dan tak bernyawa.... Pembaca tak bisa terikut dengan apa yang kita jabarkan dalam tulisan kita jika kita tak pernah mengalami sendiri...
BalasHapusbener banget ya.. mbak MonicaAng, yang mengalami sendiri bisa pake riset partisipatoris, langsung mengalami, merasakan, lalu ditulis.. *jadi tulisan mengalir deras ya.. *sip!
BalasHapusBetul mas, riset memang jauh lebih lama daripada menulis. Waktunya lebih lama, dan energi yg dibutuhkan juga lebih banyak, hehe.... Tapi kalau sudah jadi, tulisan yg dihasilkan bisa bagus banget, isinya "daging" semua :-)
BalasHapuslezat banget, buat naskah yang lezat 'dagingnya' pake bumbu sedapnya melebihi aromanya.. he..
BalasHapus